Sederet Hambatan RI Malaysia dan Jepang Saat Tinggalkan Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menemukan adanya permasalahan transaksi mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) dengan Malaysia dan Jepang.
"Memang dari komunikasi dengan para pelaku, baik pelaku usaha dan bank-bank ACCD memang masih banyak permasalahan yang mereka hadapi," jelas Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi dalam taklimat media, Jumat (6/8/2021).
ACCD atau Appointed Cross Currency Dealer adalah bank yang ditunjuk oleh otoritas kedua negara untuk memfasilitasi pelaksanaan LCS melalui pembukaan rekening mata uang negara mitra di negara masing-masing.
Doddy memberikan contoh, misalnya dengan Malaysia sebelum ada penguatan kerangka kerja sama LCS, hubungan transaksinya hanya sebatas untuk perdagangan saja. Kemudian BI dan otoritas resmi setempat memutuskan untuk memperluas cakupan transaksi.
"Dari semula hanya perdagangan menjadi termasuk juga FDI (Foreign Direct Investment) dan pembayaran income transfer juga termasuk ke dalam remitansi tenaga kerja TKI kita. Itu salah satunya," tuturnya.
Sementara dari Jepang, BI dengan otoritas Jepang sejak awal sudah menyepakati perjanjian kerjasama bukan hanya untuk perdagangan, tapi juga untuk penanaman modal asing (PMA), income transfer dan remitansi.
Masalah berikutnya, kata Doddy adalah threshold underlying. Karena di dalam ACCD ada underlying transaksi untuk bisa disempurnakan.
"Ini terasa sangat ketat, bahkan sejak awal kita mewajibkan semua transaksi harus ada underlying-nya, ini kemudian yang membuat jadi tidak fleksibel," jelas Doddy.
Sementara dengan LCS dengan Jepang, transaksi yang diperbolehkan tanpa underlying dokumen hanya sampai US$ 25.000 per transaksi dan per entity.
"Karena transaksi lumayan besar angkanya, sehingga hubungan kita dengan Jepang tetap bermasalah," kata Doddy melanjutkan.
Kemudian, kata Doddy adalah jenis transaksinya masih terbatas, selama ini hanya untuk transaksi di spot, forward, dan swap. "Kita perluas kemudian mencakup transaksi hedging termasuk cross swap dan DNDF."
Ada juga permasalahan transaksi hedging dan fitur-fitur limited, yang kemudian kebutuhan hedging pembiayaan infrastruktur serta kebutuhan berjangka waktu lebih panjang. Karena selama ini hedging yang diperbolehkan menggunakan akses di bawah satu tahun.
Kini untuk mengakomodir underlying dengan berjangka waktu menengah panjang antara 2-5 tahun.
Permasalahan berikutnya, kata Doddy adalah pembukaan rekening Bank ACCD yang terbatas. Untuk transaksi LCS dengan Malaysia misalnya, pengguna LCS dibatasi bisa memiliki satu account bank ACCD di Malaysia.
Oleh karena itu, melalui penguatan LCS-Malaysia beberapa waktu lalu, kini pengguna transaksi LCS bisa memiliki banyak account di Bank ACCD yang lain, sehingga bisa efisien dan bisa bertransaksi di antara Bank ACCD. "Dulu gak boleh," jelas Doddy.
"Karena ada larangan untuk transfer antar account ACCD di negara mitra ini menimbulkan inefisiensi karena transaksi banyak di antar account, dan kini diperbolehkan selama di antara bank ACCD," kata Doddy melanjutkan.
Sementara transaksi LCS Indonesia dan Jepang, Bank ACCD sudah diperbolehkan membuka lebih dari satu rekening pada Bank ACCD di negara mitra.
Dari sisi pelaporan Bank ACCD, selama ini cukup banyak dan sifatnya manual dan BI memutuskan untuk melakukan justifikasi.
"Di Malaysia Bank ACCD terbatas, padahal kebutuhan cukup banyak dan sekarang diperluas. Dengan Jepang sekarang sudah cukup," tuturnya.
Permasalahan berikutnya adalah pengetahuan atau pemahaman pelaku usaha terhadap LCS masih terbatas dan BI terus melakukan perluasan kampanye dan sosialisasi.
"Lesson learned kita harus meningkatkan awareness dan relaksasi LCS ini lebih fleksibel dan efisien untuk digunakan dan penambahan jaringan dan dukungan pemerintah dalam berbagai insentif," jelas Doddy.
"Strateginya penguatan, kampanye, sosialisasi, dan kemudian perkuat sinergi dengan berbagai pihak," ujarnya lagi.
[Gambas:Video CNBC]
0 Response to "Sederet Hambatan RI Malaysia dan Jepang Saat Tinggalkan Dolar"
Post a Comment